Akhir
tahun 2014 Presiden Jokowi menolak grasi 64 terpidana mati kasus narkoba.
Eksekusi mati tahap pertama pun akhirnya dilaksanakan pada tanggal 18 Agustus
2015 terhadap 6 terpidana yang terjerat kasus narkoba. Kelimanya terpidan yang
di eksikusi di nusa kambangan adalah Marco Archer Cardoso Mareira (53 tahun,
warga negara Brasil), Daniel Enemua (38 tahun, warga negara Nigeria), Ang Kim
Soe (62 tahun, warga negara Belanda), Namaona Dennis (48 tahun, warga negara
Malawi), dan Rani Andriani atau Melisa Aprilia, warga negara Indonesia dan yang
terakhir di Boyolali adalah Tran
Thi Hanh, warga negara Vietnam berusia 37 tahun (sumber : bbc.co.uk).
Hukuman mati diera SBY
Eksekusi
hukuman mati di Indonesia diera
pemerintahan Presiden SBY terjadi pada tahun 2008 yaitu terhadap Amrozi, cs
(Kasus terorisme), 2 warga Nigeria (Kasus narkoba), 5 orang lainnya terkait
kasus pembunuhan sadis dan keji. Seperti biasanya di negeri ini pro kontra
tentang hukuman mati akan selalu ada. Pada prinsipnya perdebatan ini tak lepas
dari apakah hukuman mati itu termasuk pelanggaran HAM atau tidak.
Teori Pemidanaan
Jika
dilihat dari teori Muladi (1998) membagi tujuan pemidanaan menjadi 3
kelompok yang pertama adalah
teori absolut (retributif). Teori ini memandang bahwa pemidanaan merupakan
pembalasan atas kesalahan yang telah dilakuakan sehingga berorientasi
pada kesalahan yang telah diperbuat. Misalnya seorang yang mencuri maka
harus mengganti barang tersebut. atau istilah lainnya hutang uang bayar uang,
hutang nyawa bayar nyawa.Kedua adalah
teori Teleologis bahwa tujuan pemidanaan bukanlah
pembalasan atas kesalahan akan tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat
untuk melindung kesejahteraan. Sehingga menurut teori ini seorang tepidana di
tahan agar dia tak melakukan kejahatan itu lagi dan dalam masa tahanan seorang
terpidana akan di bina dan di masyarakatkan kembali maka munculah
istilah LP atau Lembaga Pemasyarakatan sehingga
terpidana nantinya dibina dan diterima dimasyarakat nantinya. Ketiga adalah Teori Retributif-teleologis. Teori
ini memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan dua
prinsip yaitu prinsip teleologi (tujuan) dan retributif sebagai satu kesatuan.
Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan mengandung unsur retributif sejauh
pemidanaan dilihat sebagai kritik moral dalam masyarakat.
Hukuman di Dunia
Hukuman
mati dibeberapa Negara masih dilakukan dengan cepat dan mudah, walaupun
seharusnya prinsip-prinsip yang tidak berhubungan dengan hukum terkadang dimasukan.
Misalnya saja pada tahun 2006 eksekusi mati terhadam Saddam Husein mantan
penguasa Irak lewat pengadilan yang sangat diragukan indenpedensinya. Saddam
Hussein dianggap terlibat dalam kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi saat
ia berkuasa. Hukuman mati di Arab Saudi bahkan mengancam beberapa TKI tercatat
5 orang terancam hukuman mati dinegara tersebut.
Pada
tahun 2010 menurut Amnesty Internasional terdapat paling tidak 2.148 orang
dieksikusi mati di 22 negara. Diantaranya di Tiongkok 1.776 orang, Iran 94
orang, Arab Saudi 86 orang dan Amerika Serikat 60 orang. Sementara itu Amnesty
Internasional memperkirakan masih terdapat 20.000 orang yang antri hukuman
mati. Meskipun terlihat Tiongkok menepati urutan teratas dalam eksekusi mati
namun jika ukuranya eksekusi perkapita maka Singapura menjadi Negara yang
tertinggi yaitu 6.9 eksekusi per satu juta penduduk.
Eksekusi
mati di Negara yang masih memberlakukan hukuman ini dengan cara yang berbeda.
Arab Saudi menggunakan hukuman pancung, sengatan listrik di Amerika serikat,
hukuman gantung di Mesir, Irak, Iran, Jepang. Sedangkan Indonesia sendiri
sesuai dengan UU No. 2/PNPS/1964 hukuman mati dilakukan dengan cara hukuman
tembak.
Jaksa
Agung waktu itu Abdul Rahman Saleh pernah mengusulkan hukuman mati dengan
metode lain seperti suntik mati atau digantung akan tetapi pembatalan metode
ini ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.
Hukaman Mati dan HAM
Pihak
yang kontra dengan hukuman mati merujuk pada Undang-undang Dasar 1945 pasal 28A
yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan
hidup dan kehidupannya.” Selain itu mereka juga merujuk pada
Undang-undang no 39 Tahun 1999 pasal 9 yang intinya berhak mempertahankan
hidupnya dan berhak hidup aman dan tentram.
Pihak pro
melandaskan hukuman mati pada putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pasal 80
Undang-undang nomor 22 Tahun 1997 tentang narkotika yang memuat tentang pidana
mati pada pelakunya. Argumentasi MK pada putusannya tanggal 30 oktober 2007
menjelaskan bahwa UU narkotika tidak bertentangan dengan hak hidup yang dijamin
pada UUD 1945 lantaran hak asasi yang dimaksud tidaklah menganut asas
kemutlakan. Artinya dalam kasus tertentu HAM bisa dibatasi oleh Negara. MK
memandang bahwa UU itu juga mengakui adanya pembatasan hak asasi seseorang
dengan memberi pengakuan hak orang lain demi ketertiban umum.
Kesimpulan
Indonesia
sendiri telah menetapkan Narkoba sebagai kejahatan yang luar biasa (extra
ordinary crime). Menurut Badan Narkotika Nasional penyalahgunaan narkoba di Indonesia mencapai
2.2 persen atau 4,2 juta sampai tahun 2013, sehingga penegakkanya perlu
perlakuan khusus, efektif dan maksimal. Salah satunya dengan menerapkan hukuman
mati bagi para pelakunya khususnya pengedar, Penerapan hukuman yang berat bagi
kejahatan narkoba setidaknya bisa menekan angka peredaran narkoba di Indonesia
sehingga generasi kedepan bisa lebih baik dan berpresrasi.
(Opini Radar Cirebon 21/01/2015)
0 Komentar untuk "“Quo Vadis Pidana Mati?”"